Minggu, 22 Mei 2011
Puisi Ibu 2
Untuk Ibu
Kulihat kelelahan dalam setiap tubuhmu
Mata yang semakin berkedut
Pipi yang semakin keriput
Tenaga yang tak sekuat dulu
Ibuku semakin tua sekarang
Tapi apa yang sudah kulakukan untuknya?
Hiburan, pijatan, ataukah uang yang ku beri
Aku rasa benar itu tak akan cukup
Seperti kata banyak orang, kasih ibu tiada tara
Ya, begitu juga dengan ibuku
Dia menyuapiku dengan kasih sayang tiap harinya, bahkan setiap menit dalam hidupku ini
Namun apa yang bisa ku perbuat untuknya?
Aku hanya bisa memupuk dosa saja pada ibuku
Dosa yang tumbuh setiap harinya
Dan ibuku yang tetap sabar terhadapku
Walaupun dalam hati aku tahu ibu pasti menangis
Menangis dalam doa untuk kebaikanku
Ibu,
Anakmu ini sangatlah berdosa
Aku ingin benar menghapus banyak kesalahanku padamu
Ingin aku menghapus air matamu,
Agar tak akan pernah ku lihat ada air mata di hatimu lagi
Penyesalan yang teramat dalam dariku ibu
Hanya untuk ibu tersayang
Dan ini adalah janji, janji seorang anak terhadap ibunya.
Selasa, 10 Mei 2011
Ibu! Ibu! Ibu!
Ibuku Sayang
Ibu,
Kala kau merasa hatimu pilu terkenang kesalahan anakmu ini,
Aku hanya bisa terdiam.
Ibu,
Di saat kau berada dalam kesakitan mengingat anakmu yang berdosa ini,
Aku hanya bisa merintih.
Ibu,
Ketika kau benar-benar menyadari kedurhakaan anakmu ini,
Seperti kau juga Ibu, aku pun sebenarnya menangis dan penuh sesal.
Teramat sadar bahwa anakmu ini terlalu dilumuri oleh dosa terhadapmu Ibu.
Dosa yang kini bahkan sudah mengendap dalam setiap aliran darahku.
Entah bagaimana cara menyucikan diriku ini.
Seribu kata maaf pun mungkin tak akan cukup.
Ibu,
Anakmu ini memang kurang ajar
Terlalu tak peduli terhadapmu
Lalu tak pernah mau tahu kasih sayang yang telah kau beri,
Kasih sayang yang kau beri sedari kandungan, sedari aku masih sering mengompol, sampai aku menjadi lelaki seperti sekarang.
Ibu,
Setiap saat kau selalu berdoa untuk kebaikanku.
Tetapi anakmu ini hanya berdoa untukmu saat ingat saja.
Bagaimana lantas aku bisa membalas segala perhatianmu Ibu?
Memang terlalu sulit membayar itu semua
Namun demi Tuhan, dari hati yang terdalam, aku teramat sayang Ibuku.
Minggu, 01 Mei 2011
Memori yang terbuang
Letter To The Mother of Earth
Kepada Bumi
Seiring waktu yang kian cepat berlalu
Terasa pula bahwa Sang Ibu telah keliatan menua
Menua, rapuh, sekarat dan mati
Mati, janganlah yang terakhir itu tercipta
Lantas bagaimana nanti jadinya jika Sang Ibu mati?
Kehidupan manusia akan seperti apa?
Memang selama ini salah manusialah yang tak tau diri,
Sang Ibu yang sudah tua dan semakin menua, selalu diperas oleh manusia
Hutan Sang Ibu digunduli tak jarang dibakar dengan sengaja,
Udara tempat Sang Ibu bernafas dikotori,
Kekayaan alam yang ada di perut Sang Ibu di rampas lagi dan lagi,
Sementara Sang Ibu hanya terdiam dan pasrah atas ulah manusia terhadap dirinya
Kalau saja Sang Ibu dapat berucap, pasti dia sudah kecewa dan marah
Ataupun bila Sang Ibu dapat merintih, maka dia akan mengadu atas kesakitan yang dirasakan
Sampai sekarang pun manusia tak sadar diri
Selalu egois dan rakus
Kenapa bisa manusia yang tercipta sebagai mahluk berakal tetapi tak punya sedikitpun akal untuk menjaga Sang Ibu?
Kalaupun ada manusia yang menjaga Sang Ibu, itu hanya sejumput kecil
Lantas dimana milyaran manusia lainnya?
Apakah mereka itu malah asyik dengan rampasan yang didapat dari Sang Ibu?
Padahal Tuhan selama ini juga telah berusaha menyadarkan manusia
Coba lihat bencana alam yang ada, merupakan cara Tuhan untuk mengingatkan manusia, namun apa tanggapan dari manusia sendiri?
Manusia memang ada yang sadar dan masih ada yang tetap tak peduli
Dari yang sadar itu lalu ada yang kembali lagi menunjukan ketidakpeduliannya
Sampai kapan manusia menunjukan keegoisan, kekolotan, dan keangkuhannya
Mungkinkah hanya kiamat yang akan menyadarkan manusia, saat dimana Sang Ibu benar-benar hancur lalu manusia berbondong-bondong mengingat kesalahan dan dosa mereka di hadapan Tuhan
Tidak, tidak, tidak!
Sebelum saat itu terjadi ada baiknya manusia sadar diri
Mulai belajar untuk mencintai alam dan menjaga apa yang dipunyai oleh Sang Ibu
Cukup sudah manusia melukai Sang Ibu
Cobalah selalu mengingat bahwa Sang Ibu sudah semakin tua, jangan biarkan Dia menangis lagi
Meski sayang manusia tak akan cukup mengingat
segala sesuatu yang telah diberikan Sang Ibu setelah sekian lama.
P.S.: GO GREEN!!
Jumat, 29 April 2011
Sebuah cerpen: "Secangkir Capucino"
Secangkir Capucino
Aku mengaduk capucinoku dengan perasaan marah. Marah terhadap perempuan yang baru lima belas menit lalu meninggalkanku seperti ini. Perempuan yang keluar dari cafe tanpa perasaan bersalah sekalipun. Kali ini aku benar-benar tidak bisa mengendalikan amarahku sendiri. Ku pelototi orang-orang yang melihatku ataupun melirik sebal ke arahku. Dalam hatiku, kenapa pula mereka sibuk membuang waktu hanya untuk melihat kondisiku sekarang. Ku akui, kali ini aku benar-benar kacau. Mengerang seperti orang kesakitan, menumpahkan percikan capucino kemana-mana, memelototi semua orang yang lewat, dan meletakkan kaki di atas meja cafe.
“ Oh Cici, kau benar-benar perempuan keparat!”. Kuteriakan kata-kata ini berkali-kali, sambil mengepalkan tinjuku ke udara. Sial, kenapa aku benar-benar bisa dibuat tidak berdaya seperti ini hanya karena perbuatan perempuan semacam Cici. Cici, perempuan yang sebelum ini sangat aku cintai, melebihi apapun di dunia.
***
Namanya Cicilia, seorang perempuan asli tanah pasundan, Bandung. Menurutku dia adalah perempuan yang sangat sempurna. Kulitnya seputih kapas, rambutnya panjang berombak, tinggi semampai, dan bibirnya sensual. Benar-benar perempuan idola lelaki dia. Aku sendiri bertemu dengan Cici di sebuah cafe di sudut kota Jogja. Saat itu dia duduk sendiri, sedang meminum capucino sambil merokok. Pesonanya mampu membuatku untuk mendekatinya. Ku ajak kenalanlah dia.
“ Hai, boleh aku duduk di sini?”
“ Tentu saja.”
“ Kalau boleh tahu namamu?”
“ Aku Cicilia dari Bandung, kamu sendiri?”
“ Aku Utha, asli dari Jogja. Ku lihat kau juga suka capucino?”
Dia tersenyum manis sambil menjawab, “Ya, capucino minuman kesukaanku.”
Percakapan kami terus berlanjut. Aku merasa sangat nyaman ketika berbicara dengannya. Dari obrolan kami, aku mengetahui bahwa Cici satu almamater denganku tetapi beda fakultas. Dia fakultas ekonomi sedangkan aku sendiri fakultas bahasa. Aku menangkap pula kalau dia sering sekali ke cafe sudut kota ini hanya untuk membeli capucino kesukaanya. Dari situlah aku jadi sering meluangkan waktuku untuk ke cafe, hanya untuk bertemu dengannya, sambil meminum secangkir capucino kesukaan kami. Dari seringnya pertemuan ini pula, benih-benih percintaan mulai muncul diantara kami. Dan pada suatu malam, aku pun tak ragu lagi untuk menjadikannya sebagai kekasihku.
***
Empat bulan sudah kami memadu kasih. Setiap hari kami tidak bosan-bosannya saling bertemu. Denganditemani capucino kami saling bercengkrama di cafe. Ahh, benar-benar indah masa itu. Aku mampu dibuat mabuk kepayang oleh pesona kekasihku ini. Sampai suatu malam selepas aku mengantar Cici ke kosnya, aku melihat perempuan berambut cepak berdiri di depan pintu kos kekasihku ini. Penampilannya sangat kelaki-lakian untuk ukuran perempuan berwajah manis seperti dia. Lalu akhirnya ku ketahui bahwa perempuan itu Veni, dia adalah salah satu fotografernya Cici. Ya, mungkin pertemuan mereka hanya sebatas pertemuan rekan kerja yang profesional, inilah pikiranku saat itu. Semuanya lantas berubah begitu sajaketika aku akhirnya mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Tanggal 5 Juni, aku ingat betul hari menjijikan itu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dari jendela kos Cici, dua bidadari yang tanpa busana sehelai pun sedang saling beradu kasih. Bidadari itu saling berciuman, berpelukan dengan eratnya, dan saling menjilati bagian tubuh yang lain. Urat syarafku menegang melihat adegan tak senonoh itu. Telingaku terasa panas saat mendengar desahan nafas serta erangan yang dibuat oleh para bidadari jalang tersebut. Amarahku benar-benar memuncak. Muak sekali akan apa yang telah dilihat oleh mataku ini, dan aku muntahkan isi perutku di depan kos Cici. Aku segera menyingkir dari tempat nista itu. Menaiki motor, menjauhi sarang para pezina. Berharap benar bahwa yang tadi aku lihat dan dengar adalah semacam mimpi belaka.
***
Aku duduk sendiri di sudut ruangan cafe dengan secangkir capucino. Masih teringat betul kejadian semalam. Ingatan tentang kejadian-kejadian yang tak sepantasnya dilakukan oleh sepasang manusia sejenis, yang mampu membuat pikiranku terasa penuh. Di saat itulah Cici tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku.
“ Kamu sudah tahu?”, tanyanya.
“ Ya, aku tahu”, jawabku.
“ Baiklah. Sangat indah bukan!”
Dia mengakhiri ucapannya tanpa sempat melihat lagi ke arahku. Lalu dia pergi meninggalkan cafe begitu saja, tanpa kepastian yang jelas. Pada saat itu pula perasaanku berubah, aku benar-benar jadi membenci Cici. Mungkin cintaku kepadanya sudah ikut terbawa pergi oleh kepergiannya pula.Di cafe sudut kota ini, lagi-lagi aku duduk sendiri. Menatap dengan marah bayangan gadis yang meninggalkanku tanpa perasaan dosa sedikitpun. Sekali lagi aku mengumpat “keparat!”.
Langganan:
Postingan (Atom)