Jumat, 29 April 2011

Sebuah cerpen: "Secangkir Capucino"


Secangkir Capucino

Aku mengaduk capucinoku dengan perasaan marah. Marah terhadap perempuan yang baru lima belas menit lalu meninggalkanku seperti ini. Perempuan yang keluar dari cafe tanpa perasaan bersalah sekalipun. Kali ini aku benar-benar tidak bisa mengendalikan amarahku sendiri. Ku pelototi orang-orang yang melihatku ataupun melirik sebal ke arahku. Dalam hatiku, kenapa pula mereka sibuk membuang waktu hanya untuk melihat kondisiku sekarang. Ku akui, kali ini aku benar-benar kacau. Mengerang seperti orang kesakitan, menumpahkan percikan capucino kemana-mana, memelototi semua orang yang lewat, dan meletakkan kaki di atas meja cafe.
“ Oh Cici, kau benar-benar perempuan keparat!”. Kuteriakan kata-kata ini berkali-kali, sambil mengepalkan tinjuku ke udara. Sial, kenapa aku benar-benar bisa dibuat tidak berdaya seperti ini hanya karena perbuatan perempuan semacam Cici. Cici, perempuan yang sebelum ini sangat aku cintai, melebihi apapun di dunia.
***
Namanya Cicilia, seorang perempuan asli tanah pasundan, Bandung. Menurutku dia adalah perempuan yang sangat sempurna. Kulitnya seputih kapas, rambutnya panjang berombak, tinggi semampai, dan bibirnya sensual. Benar-benar perempuan idola lelaki dia. Aku sendiri bertemu dengan Cici di sebuah cafe di sudut kota Jogja. Saat itu dia duduk sendiri, sedang meminum capucino sambil merokok. Pesonanya mampu membuatku untuk mendekatinya. Ku ajak kenalanlah dia.
“ Hai, boleh aku duduk di sini?”
“ Tentu saja.”
“ Kalau boleh tahu namamu?”
“ Aku Cicilia dari Bandung, kamu sendiri?”
“ Aku Utha, asli dari Jogja. Ku lihat kau juga suka capucino?”
Dia tersenyum manis sambil menjawab, “Ya, capucino minuman kesukaanku.”
Percakapan kami terus berlanjut. Aku merasa sangat nyaman ketika berbicara dengannya. Dari obrolan kami, aku mengetahui bahwa Cici satu almamater denganku tetapi beda fakultas. Dia fakultas ekonomi sedangkan aku sendiri fakultas bahasa. Aku menangkap pula kalau dia sering sekali ke cafe sudut kota ini hanya untuk membeli capucino kesukaanya. Dari situlah aku jadi sering meluangkan waktuku untuk ke cafe, hanya untuk bertemu dengannya, sambil meminum secangkir capucino kesukaan kami. Dari seringnya pertemuan ini pula, benih-benih percintaan mulai muncul diantara kami. Dan pada suatu malam, aku pun tak ragu lagi untuk menjadikannya sebagai kekasihku.
***
Empat bulan sudah kami memadu kasih. Setiap hari kami tidak bosan-bosannya saling bertemu. Denganditemani capucino kami saling bercengkrama di cafe. Ahh, benar-benar indah masa itu. Aku mampu dibuat mabuk kepayang oleh pesona kekasihku ini. Sampai suatu malam selepas aku mengantar Cici ke kosnya, aku melihat perempuan berambut cepak berdiri di depan pintu kos kekasihku ini. Penampilannya sangat kelaki-lakian untuk ukuran perempuan berwajah manis seperti dia. Lalu akhirnya ku ketahui bahwa perempuan itu Veni, dia adalah salah satu fotografernya Cici. Ya, mungkin pertemuan mereka hanya sebatas pertemuan rekan kerja yang profesional, inilah pikiranku saat itu. Semuanya lantas berubah begitu sajaketika aku akhirnya mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Tanggal 5 Juni, aku ingat betul hari menjijikan itu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dari jendela kos Cici, dua bidadari yang tanpa busana sehelai pun sedang saling beradu kasih. Bidadari itu saling berciuman, berpelukan dengan eratnya, dan saling menjilati bagian tubuh yang lain. Urat syarafku menegang melihat adegan tak senonoh itu. Telingaku terasa panas saat mendengar desahan nafas serta erangan yang dibuat oleh para bidadari jalang tersebut. Amarahku benar-benar memuncak. Muak sekali akan apa yang telah dilihat oleh mataku ini, dan aku muntahkan isi perutku di depan kos Cici. Aku segera menyingkir dari tempat nista itu. Menaiki motor, menjauhi sarang para pezina. Berharap benar bahwa yang tadi aku lihat dan dengar adalah semacam mimpi belaka.
***
Aku duduk sendiri di sudut ruangan cafe dengan secangkir capucino. Masih teringat betul kejadian semalam. Ingatan tentang kejadian-kejadian yang tak sepantasnya dilakukan oleh sepasang manusia sejenis, yang mampu membuat pikiranku terasa penuh. Di saat itulah Cici tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku.
“ Kamu sudah tahu?”, tanyanya.
“ Ya, aku tahu”, jawabku.
“ Baiklah. Sangat indah bukan!”
Dia mengakhiri ucapannya tanpa sempat melihat lagi ke arahku. Lalu dia pergi meninggalkan cafe begitu saja, tanpa kepastian yang jelas. Pada saat itu pula perasaanku berubah, aku benar-benar jadi membenci Cici. Mungkin cintaku kepadanya sudah ikut terbawa pergi oleh kepergiannya pula.Di cafe sudut kota ini, lagi-lagi aku duduk sendiri. Menatap dengan marah bayangan gadis yang meninggalkanku tanpa perasaan dosa sedikitpun. Sekali lagi aku mengumpat “keparat!”.